Have an account?

Monday, May 31, 2004

Membuat Cinderella dalam Seratus Hari (Making a Cinderella in 100 Days)

Judul yang atraktif dan membuat penasaran bukan? Ini adalah judul artikel yang muncul saat saya menggunakan mesin pencari di sebuah situs berita terkenal di Korea. Sebuah ulasan mengenai program berseri yang ditayangkan sebuah stasiun televisi Korea, Dongah TV, yang khusus menayangkan program fashion dan kecantikan.

Making a Cinderella in 100 Days merupakan adaptasi dari sebuah program yang sama di sebuah satu televisi di Amerika, ABC's Extreme Makeover. Program ini telah memasuki musim penayangan yang ketiga sejak diluncurkan akhir tahun lalu. Sebenarnya program ini tidak akan istimewa jika saja pihak penyelenggara tidak memberikan jaminan 100 hari. Bayangkan, hanya dalam 100 hari peserta yang terpilih akan mengalami transformasi dari, maaf, jelek menjadi cantik. Dan semuanya gratis karena semua biaya perawatan yang mencapai 50 juta won atau sekitar 42.000 dolar per orang dibebankan pada pihak sponsor (rumah sakit dan klinik kecantikan).

Jika kita melihat ke belakang, sebenarnya operasi plastik sudah tidak aneh lagi. Ambillah contoh para selebritis dunia atau peserta Miss Tiffany di Thailand. Atau mungkin contoh yang menarik di Korea adalah Harisu, salah seorang selebritis Korea saat ini. Coba anda lihat foto di samping, mungkin pendapat anda sama dengan saya ketika pertama kali melihat gambar tersebut, Wow, she's pretty. Anda tidak akan mengira bahwa dia adalah transgender terkenal Korea. Bukan masalah transgendernya tapi lihatlah betapa operasi plastik benar-benar dapat mengubah penampilan luar seseorang dan menciptakan, kalau boleh meminjam istilah program TV tersebut, seorang "Cinderella".

Barapa banyak peminat operasi plastik di Korea Selatan? Dua buah survey terpisah yang dilakukan terhadap dua kelompok sosial yang berbeda menunjukkan operasi plastik telah mempengaruhi opini masyarakat Korea saat ini. Sebuah penelitian mahasiswa pasca sarjana yang dilakukan setahun yang lalu dengan mensurvey 680 siswa (293 laki-laki dan 387 perempuan) dari enam sekolah lanjutan di Seoul memberikan hasil yang cukup mengejutkan. Sekitar empat orang dari sepuluh responden (40 %) menginginkan operasi plastik, dan satu diantara sepuluh responden (8 %) mengatakan telah melakukan operasi plastik. "Fenomena tersebut menunjukkan norma sosial yang kurang sehat seperti materialisme telah banyak mempengaruhi persepsi masyarakat, orang tua dan lingkungannya bukannya meningkatkan kemampuan si anak tapi justru mendorong untuk melakukan operasi plastik", ungkap peneliti tersebut prihatin (The Korea Times, August 26, 2003).

Lebih lanjut, survey yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Seoul National University terhadap 1.500 mahasiswi dari seluruh Korea menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (60 %) telah menjalani operasi plastik. Dari mereka yang pernah melakukan bedah plastik, lebih dari 95 persen masih berkeinginan untuk memperbaiki bagian lain dari tubuhnya. Bagaimana dengan mereka yang belum? Sekitar 82 persen menyatakan keinginannya untuk menjalani operasi plastik kelak (The Korean Herald, May 10, 2004).

Kembali ke program televisi tadi, tahukah berapa orang pelamar yang berminat untuk mengikuti program tersebut? Di awal peluncuran program ini, tidak kurang dari 1.240 pelamar, yang kemudian meningkat menjadi 4.000 pelamar di musim penayangan yang kedua, dan sekitar 2.500 pelamar telah mendaftarkan diri tiga pekan sebelum musim penayangan ketiga yang dimulai tanggal 26 Mei kemarin. Tampaknya minat untuk mengikuti program ini terus meningkat meski hanya 3 atau 4 orang saja yang terpilih dari ribuan pelamar. Siapa yang tidak tergiur untuk cantik atau tampan, tanpa harus membayar satu sen pun?

Banyak yang menginginkan program ini dihentikan dengan anggapan bahwa program ini mencoba mengubah persepsi masyarakat untuk menilai seseorang dari luarnya saja dan media tidak selayaknya menunjukkan standar baku dari sebuah kecantikan. Meski demikian, masih ada yang mencoba untuk bersikap realistis dengan tidak menyalahkan program TV, seperti kata salah seorang pegawai kantor yang diwawancarai soal ini. Ia mengatakan, "Jangan salahkan program TV-nya karena program tersebut merupakan gambaran kondisi masyarakat sekarang. Seharusnya tendensi masyarakat yang menilai seseorang dari luarnya yang harus menjadi perhatian untuk disikapi".

Kelihatannya, 'angin' ini mulai berhembus ke Indonesia, sebuah program sedang disiapkan salah satu stasiun televisi di Indonesia memiliki visi yang masih menitikberatkan sisi kecantikan walaupun ada input Brain (kecerdasan) dan Behavior (etiket dan sopan-santun) di dalamnya, meski tanpa iming-iming operasi plastik. Saya jadi berpikir, jika penampilan benar-benar sudah menjadi salah satu kebutuhan saat ini dan melihat peminat Indonesia Idol yang diadopsi dari program sejenis di Amerika bisa mencapai 33.500 orang, saya bisa membayangkan berapa puluh ribu orang yang akan mendaftar jika program serupa diadopsi oleh salah satu stasiun televisi di Indonesia. Semoga kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan.

Saturday, May 29, 2004

Masihkah Cinta Diungkapkan dengan Diam......

If I try and stop you, you will be hurt...
And so I let you go...
Hoping in vain you will someday return...
(Chong Ch'ol; Ode on Leaving the Western Capital)

Membaca kumpulan essay Lee O-young, mantan menteri kebudayaan Korea, seperti melakukan perjalanan virtual ke masa silam. Masa sebelum perang Korea atau bahkan jauh sebelumnya, ketika kebiasaan dan tradisi masih sangat dipegang teguh oleh masyarakat Korea.

Ada sebuah essay menarik gubahan Lee O-young yang saat ini sedang saya baca berjudul On Love (Mencintai). Tema yang diungkapnya sangat menarik karena sifat cinta yang universal dan karena setiap bangsa memiliki definisi tersendiri tentang cinta.

Cinta dalam bahasa Korea kuno berarti berpikir, berpikir adalah cinta dan cinta adalah berpikir. Sehingga emosi atau rasa akibat pengaruh cinta bagi orang Korea mengandung makna yang lebih dalam dibanding cinta orang di Barat yang menggebu-gebu. Sebagai contoh, ketika orang di Barat jatuh cinta, tanpa sungkan mereka akan berkata I love you atau Je t'aime. Tapi bagi orang Korea, mereka tidak akan spontan mengucapkan kata 'cinta'.

Implisitnya cinta orang Korea tergambar dari sebuah bait dari puisi yang terkenal dari masa dinasti Yi (1537 - 1594) Thinking of a Beautiful Person yang berbunyi There seems to be a subtle change in your manner as you greeted me. Bait ini seakan menunjukkan bahwa cinta dan benci adalah emosi yang terpancar dari ekspresi wajah, tidak terungkapkan dengan kata-kata. Dan banyak lagi puisi yang menceritakan ungkapan cinta dalam 'diam', khususnya cinta seorang wanita Korea yang terikat tradisi. Semua emosi yang ada terpendam dan tersimpan rapi dalam hati dan tak mudah untuk dilupakan.

Tidak hanya ketika mencinta dan dicinta, pun ketika salah seorang dikhianati, bukanlah belati yang akan tertancap di tubuh sang kekasih seperti kisah Carmen. Tetapi sikap pengampunan (maaf) dan kesabaran yang mereka tunjukan. Satu ungkapan yang terkenal adalah When you leave me, I will not weep though I die (Ketika kau meninggalkan ku, aku takkkan menangisimu meski aku mati) (Kim So-wol, 1903 - 1934). Sebuah pernyataan pengunduran diri, kontrol diri dan penahanan nafsu dari hati yang kehilangan cinta.

Ada satu pertanyaan yang mengusik saat ini. Jika masyarakat Korea tradisional begitu mengagungkan cinta, bagaimana dengan masyarakat Korea pasca perang Korea, terutama generasi mudanya yang telah banyak terpengaruh budaya Barat, Amerika misalnya?

Selama saya tinggal di Korea, ada satu hal menarik yang saya kira hanya ditemui di Korea yaitu adanya beberapa 'hari cinta'. Berbagai negara merayakan tanggal 14 Februari sebagai Valentine Day, hari kasih sayang, hari dimana setiap pasangan saling mengungkapkan rasa kasihnya. Mungkin hanya di Korea dapat ditemui hari-hari cinta selain 14 Februari.

Entah sejak kapan, hari-hari ini dirayakan dengan antusias oleh generasi muda Korea. Setidaknya ada lima hari kasih sayang, termasuk Valentine Day. Sebutlah saja 14 February, hari kasih sayang sedunia (Valentine Day) yang dirayakan oleh para wanita dengan memberikan coklat ke teman prianya. Kemudian, 14 Maret (White Day) yang dirayakan para pria dengan memberikan sesuatu (bunga, kado atau boneka) ke teman wanitanya sebagai balasan di Valentine Day. Ada lagi Black Day (14 April) yang dikhususkan bagi yang belum punya pacar (mungkin kalau di Indonesia, Jomblo Day istilah kerennya) dengan makan ccajangmyon, sejenis mie dengan saus kedelai hitam yang rasanya manis.

Hari yang baru saja dirayakan adalah Rose Day (14 Mei), dari namanya sudah sangat jelas, Say it with flowers. Kemudian, yang siap-siap untuk disambut adalah Silver Ring Day (14 Juni). Hari dimana setiap pasangan untuk mengucapkan janji? Mungkin...

Banyak yang berubah jika essay-essay yang ditulis Lee O-young dibandingkan dengan keadaan sekarang. Kini untuk mencintai, kelihatannya tidak lagi cukup ditunjukkan dengan perubahan ekspresi wajah ataupun dalam diam, tapi juga dengan bunga, kado atau ungkapan kata Nan norel sarangheyo atau singkatnya Saranghe... (Aku cinta padamu).

Ketika Cantik Menjadi Segalanya......di Korea

Koreans look at beauty different from Westerners who think of beauty only as beauty. To as, morality and realistic consciousness are contained in beauty. The characteristic of nature of Korean beauty is the combination of Morality and Beauty.

Itulah penuturan Lee O-young, mantan Menteri Kebudayaan Korea, dalam sebuah essaynya (Ch'unhyang and Helen, 1963) ketika mengkomparasikan kecantikan Ch'unhyang dan Helen. Dua wanita dari dua kutub dunia yang berbeda, Timur dan Barat.

Ingat atau sudah nonton film layar lebar anyar berjudul Troy? Film tentang kisah klasik Yunani, Perang Troya, akan mengingatkan kembali pada kecantikan Helen. Perebutan si cantik jelita Helen menyebabkan pertumpahan darah selama 10 tahun. Helen sendiri hidup bermegah-megahan dengan orang yang merebutnya, sementara suaminya mengorbankan ratusan nyawa untuk mendapatkannya kembali. Bagi orang Korea, kecantikan Helen adalah kecantikan yang tidak dilandasi dengan moralitas.

Dalam kisah klasik Korea, adalah Ch'unhyang yang cantik yang lebih memilih dipermalukan bahkan dieksekusi daripada jatuh kepelukan Gubernur Pyon Hak-to. Loyalitas Ch'unhyang pada suaminya dan kerelaannya mati untuk mencegah berlanjutnya pertumpahan darah antara suaminya dan sang gubernur menunjukkan kecantikan Ch'unhyang yang disertai moralitas yang tinggi.

Sungguh dua kisah yang kontradiktif. Ch'unhyang ibarat bunga Chrysanthemum yang mekar di tengah badai salju dan muncul sebagai kecantikan paling ideal. Sedang Helen ibarat mawar yang menawarkan kecantikan sekaligus bisa menimbulkan luka. Kecantikan tanpa kepribadian.

Kini menginjak tahun 2004, empat puluh tahun setelah Lee O-young menulis essaynya. Defenisi kecantikan di mata orang Korea ternyata telah mengalami pergeseran. Kecantikan ideal tidak lagi berada pada titik keseimbangan moralitas (inner beauty) dan kenyataan (physical beauty). Saat ini, penilaian berlebihan pada kecantikan fisik telah sampai pada titik kritis.

Kecantikan hanya diartikan memiliki rupa yang cantik (eoljjang) atau bentuk badan yang ideal (momjjang). Syndrome ini telah mendorong banyak wanita untuk merubah penampilannya dengan cara apapun, termasuk dengan cosmetic surgery. Dorongan untuk melakukan operasi plastik tersebut lebih diperparah dengan fakta bahwa hampir 79% wanita Korea (responden) tidak puas dengan penampilan mereka, bahkan 32%-nya lagi mengalami diskriminasi sosial menyangkut penampilan mereka ketika mencari kerja atau bahkan ketika kencan dengan pasangannya (The Korean Herald, March 9, 2004).

Obsesi untuk menjadi cantik sepertinya telah menjadi sebuah bencana. Trend ini lebih mendekati sebuah gejala penyakit mental masyarakat. Pernah membayangkan konsekuensi dari semua itu? Konsekuensi yang timbul dari beratnya beban untuk menjadi cantik? Sebuah kisah nyata terjadi baru-baru ini. Seorang gadis berusia 25 tahun di salah satu kota di selatan Korea lebih memilih terjun bebas dari apartemennya hanya karena harapannya untuk cantik dengan operasi plastik tidak terpenuhi. Menurut hasil survey, rata-rata sekitar 1.5 juta won per bulan dikeluarkan oleh satu orang wanita Korea untuk sekedar tampil cantik atau menarik. Nilai yang setara dengan separuh dari penghasilan pekerja yang cukup mapan di Korea.

Sebesar itukah harga sebuah kecantikan?

Mungkin pendapat seorang psikolog bisa menjadi bahan sebuah perenungan.
Though you don't have a pretty face, you may have a lot of other abilities. You must find them out and develop them. You must know facial beauty is not the most important thing in your life.

Seoul, April 7, 2004 (usai Pemilu)

(Special thanks to mba' Loeloe......atas editannya.)