Have an account?

Thursday, August 19, 2004

Ketika 'Keluarga Bahagia' Hanya Sebatas Impian

Kim, seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak, akhirnya memutuskan untuk cerai dalam usianya yang 55 tahun. Setelah lebih dari tiga puluh tahun ia mempertahankan pernikahannya yang penuh dengan kekerasan demi anak-anaknya yang masih tumbuh dan kepercayaan yang dianutnya. Tapi akhirnya, jalan itu ia tempuh setelah suaminya memukulnya di hadapan anak-anaknya hingga gendang telinganya pecah.

Menurut sebuah artikel di Koran Korean Herald bulan Juni yang lalu, kasus seperti Kim di atas bukanlah satu-satunya kasus kekerasan domestik dalam rumah tangga, masih banyak Kim-Kim yang lain yang mengalami penderitaan yang sama.

Menurut sebuah data statistik yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) baru-baru ini, dapat tergambar betapa buruknya kondisi keluarga di Korea Selatan. Korea Selatan menduduki peringkat kedua dunia dalam hal tingkat perceraian dan peringkat pertama untuk jumlah anak terkecil dalam keluarga. Belum lagi tingginya tingkat pengangguran dan tingkat bunuh diri (The Korea Times, May 6, 2004).

Mengapa kekerasan domestik dalam keluarga bisa terjadi? Salah satunya bermula dari konsep keluarga yang dianut di masyarakat Korea. Konsep keluarga masyarakat Korea banyak dipengaruhi oleh Confucianism, yang memberikan hak dominasi penuh kepada pria dalam rumah tangga. Ada dua hal yang diajarkan Confucianism tentang keluarga yaitu Way of The Three Female Obediences dan Seven Reasons for Expelling a Wife.

Ajaran pertama (Way of The Three Female Obediences) mengharuskan wanita menaati ayahnya ketika muda, menuruti suaminya setelah menikah dan menuruti anak laki-lakinya jika suaminya telah meninggal.

Ajaran kedua (Seven Reasons for Expelling a Wife) memberikan hak kepada suami untuk menceraikan istrinya jika ia tidak melayani mertuanya dengan baik, jika tidak dapat memberikan keturunan, jika terlalu bergairah, jika terlalu pencemburu, jika memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan, jika terlalu banyak bicara dan jika mencuri.

Dalam masyarakat Korea, jika seorang wanita menikah ia akan datang ke rumah suaminya dan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Momen ini merupakan saat-saat yang paling menyedihkan bagi wanita Korea karena secara otomatis namanya akan dihapus dalam daftar keluarga orang tua si istri. Di masa lalu, jika seorang istri dianggap melanggar kriteria istri yang baik menurut ajaran Confucianism maka suami akan mengusir istrinya dan mengirimkannya kembali ke rumah orang tuanya. Pengusiran istri yang sering terjadi di jaman Dinasti Joseon (1392 - 1910) saat ini memang mulai pudar dalam masyarakat Korea Selatan. Tetapi budaya patriarki masih sangat kuat sehingga sampai saat ini masih banyak pria Korea yang menganggap istri mereka sebagai milik mereka.

Bertolak dari sejarah tersebut, tidaklah mengherankan jika kekerasan domestik dalam rumah tangga terus bertahan dan meningkat hingga saat ini, tanpa memandang strata sosial, kesejahteraan dan pendidikan. Meski pun pemerintah telah mengeluarkan undang-undang tentang kekerasan domestik dan perlindungan korban sejak tahun 1998, masyarakat masih menganggap kekerasan domestik sebagai masalah pribadi dan tidak seharusnya orang lain turut campur di dalamnya. Data penahanan orang akibat kekerasan domestik yang dikeluarkan pihak Kepolisian Nasional menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Jika tahun 2001 mencapai 15.557 orang, tahun 2002 meningkat menjadi 16.324 orang maka pada tahun 2003 lalu mencapai 17.770 orang.

Tingkat kekerasan dalam rumah tangga sangat tinggi frekuensinya. Setidaknya dalam satu minggu seorang suami memukul istrinya. Bahkan pemukulan tersebut terjadi di awal-awal perkawinan. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Korea Women's Hot Line terhadap 198 wanita yang dianiaya suaminya, sekitar 79 % penganiayaan telah dimulai di awal pernikahan dan lebih dari setengahnya (58 %) dianiaya dengan senjata yang dapat mematikan.

Tapi jangan salah, kekerasan domestik tidak hanya dialami oleh wanita saja. Korea Men's Hot Line menyatakan bahwa dari 1.142 pria yang mengadu, sekitar 30 % mengalami penganiayaan fisik dan sebanyak 70% dianiaya secara verbal oleh istri mereka. Bedanya adalah pria lebih mampu meredam penganiayaan tersebut dengan kekuatan fisik mereka.

Data statistik di atas menunjukkan bahwa kondisi keluarga di Korea Selatan tidak bisa dikatakan bahagia dan harmonis. Hikmah apa yang bisa kita petik? Salah satunya adalah keharmonisan sebuah keluarga ditentukan oleh semua anggotanya. Masyarakat dan tradisi boleh saja memiliki pengaruh yang kuat terhadap keluarga tetapi suami dan istri memegang kendali penuh atas semua itu. Kendali atas keluarga yang diibaratkan sebagai bahtera kehidupan. Semua memiliki peran untuk menjaga bahtera tetap berlayar ke arah yang benar karena sekali saja salah arah, bukan hanya keluarga dalam arti konkrit yang akan jadi korban tetapi juga makna (keagungan) dari keluarga itu sendiri. Keberhasilan sebuah pernikahan dan keharmonisan sebuah keluarga bergantung bagaimana mereka mengatur dan menjalaninya.

Pernikahan dan rumah tangga memang tidak selamanya membawa kebahagiaan. Karina dalam tulisannnya mengungkapkan bahwa pernikahan bukanlah puncak kebahagian seperti yang diceritakan dalam dongeng anak-anak seperti Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty dan Beauty and The Beast, ataupun yang lokal seperti Bawang Merah Bawang Putih. Semua ditutup dengan ...and they live happily ever after.

Lebih jauh ia mengutip artikel yang pernah ditulis Ayu Utami, bahwa pernikahan bukanlah akhir dari semua persoalan hidup seperti yang dipahami masyarakat saat ini. Pernikahan bisa jadi merupakan awal dari persoalan hidup yang baru. Banyak pernikahan yang berjalan penuh kebahagiaan tapi juga tidak sedikit yang penuh pengkhianatan, perselingkuhan, ketidakcocokan bahkan kekerasan domestik. Akhirnya bisa ditebak, perceraian, kadang kematian, jauh dari akhir yang sempurna.


Menikah dan membina sebuah keluarga memerlukan keberanian yang besar. Mungkin tidak salah jika Ayu Utami menolak pernikahan dengan mengatakan pernikahan terlalu sakral untuk dilumuri dengan pengkhianatan, kekerasan dan perceraian. Tapi juga tidak ada salahnya untuk menikah, membina keluarga dan membesarkan anak. Semua ini adalah bagian dari proses sebuah pencapain tujuan, yaitu kebahagian. Kebahagian tidak seperti mie instant yang hanya perlu waktu 5 menit untuk menyeduhnya sebelum disantap.

Saya teringat email seorang sahabat yang saya terima beberapa waktu yang lalu. Ia menuliskan:
Kalau saya sih akan memilih menikah saja. Mengapa? Karena saya telah merasakan bahagianya berada dalam kehangatan keluarga (dan juga telah merasakan pahit getirnya tentu saja). Namun, tidak ada kebahagiaan selain bisa ikut menciptakan kebahagiaan dalam keluarga saya nantinya. Selain itu, pernikahan bisa untuk belajar berbagi pikiran, perasaan dan tanggungjawab jika pernikahan dipandang sebagai tempat "belajar".

Tempat belajar untuk bersama-sama menciptakan kebahagian tentunya.

BK 21 International House, June 2004

Wednesday, July 14, 2004

Sebuah Pilihan

Aku bingung, Ndy. Kamu tahukan aku seperti apa. Sekarang aku berada di persimpangan jalan, antara berusaha kembali untuk jadi laki-laki normal atau menyatakan diri sebagai gay.

Kenapa tidak coba memilih satu diantaranya? Coba lihat kearah mana kecenderungan yang kamu punya.

Tarikan keduanya sama kuat, Ndy. Aku suka dua-duanya dan jalan dengan keduanya. Bingung...


Percakapan virtual saya dengan seorang teman di atas mengingatkan saya akan sebuah pertanyaan yang saya lontarkan kepada seorang teman yang lain di Italia beberapa waktu yang lalu. Menjadi gay atau tidak adalah sebuah pilihan bukan?

Menurut takdirnya, seorang laki-laki akan berusaha menarik perhatian dan hidup bersama dengan lawan jenisnya. Begitupun sebaliknya, perempuan diciptakan untuk menjadi pendamping hidup bagi laki-laki. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa hidup tidak mesti berjalan lurus seperti itu. Laki-laki maupun perempuan, memiliki potensi untuk menyimpang dari kodratnya, dari heteroseksual menjadi homoseksual (gay atau lesbian), ketika orientasi seks terhadap lawan jenisnya berkadar kecil atau sedikit.

Homoseksual bukanlah kisah baru yang dibawa peradaban barat nan modern. Ia telah ada sejak jaman para nabi. Di kalangan ahli kejiwaan, homoseksual bukanlah penyakit, ia hanyalah masalah orientasi seksual dan sedikit pada cara berpenampilan dan berperilaku. Orientasi seksual seseorang bergradasi dan dapat diukur berdasarkan kisaran antara 0 sampai 6 skala Kinsey. Nilai 0 menunjukkan heteroseksual eksklusif dan nilai 6 menunjukkan homoseksual eksklusif. Jika heteroseksual ekslusif merupakan nilai tertinggi bagi mereka yang hanya menyukai lawan jenisnya, maka sebaliknya homoseksual ekslusif bagi mereka yang hanya menyukai sesama jenis.

Banyak faktor yang memicu homoseksualitas seseorang. Menurut teori medis, ada empat kemungkinan penyebab homoseksual. Ada faktor yang sifatnya individual dan ada faktor yang sifatnya social. Pertama faktor biologis, yakni adanya kelainan di otak atau genetik, ketidakseimbangan jumlah hormon pada diri seseorang sejak lahir. Kedua, faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak. Ketiga, faktor sosiokultural, yakni adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseks dengan alasan yang tidak benar. Keempat, faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat. Faktor lingkungan dan bawaan atau gen menjadi penyebab utama seseorang menjadi gay.

Di Indonesia sendiri, data statistik menunjukkan 8 - 10 juta populasi laki-laki Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian besar masih terus melakukannya. Berbeda dengan kalangan homoseksual di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia, hidup sebagai gay di Indonesia tidaklah mudah. Seperti yang diungkap salah seorang dalam suratnya di kolom konsultasi Kompas, Menjadi homoseks di Indonesia ini sangat menyiksa. Aku bagai hidup dalam penjajahan moral, tradisi dan entah apalagi.

Kesulitan inilah yang menyebabkan kalangan homoseksual di Indonesia masih malu untuk tampil terbuka dan memproklamirkan diri sebagai homoseks. Hanya beberapa orang yang terang-terangan mengakui statusnya tersebut, dan tentu saja bukan tanpa konsekuensi.

Upaya untuk sembuh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penderitaan kami tidak kalah dengan orang yang berpenyakit jantung, kanker dan sebagainya. Mungkin lebih berat, sebab kami harus berjuang sendiri bahkan mendapat cemohan dari masyarakat, keluh seorang gay. Kesembuhan seseorang tergantung dari usaha yang keras, tahan godaan dan komitmen yang kuat untuk menjauhi kehidupan tersebut. Seperti yang pernah ditulis Sava, inti kesembuhan dari para gay dan lesbian ini selain berasal dari dorongan nurani masing-masing untuk sadar dan kembali ke 'jalan yang benar' ataupun agama, ternyata diperlukan dukungan dari banyak pihak. Utamanya jelas berasal dari pasangan lain jenis. Salah satu contohnya mungkin jika pasangan lain jenis dapat memberikan kebahagian, perlakukan dan pelayanan yang lebih baik atau setidaknya sama dengan yang dia dapatkan dari pasangan sesama jenis, maka mereka akan sembuh. Lebih vulgar lagi, pasangan lawan jenis tahu dan mampu memperlakukan pasangan ketika berhubungan sexsual, sehingga dapat memberikan kepuasan lebih. Tapi untuk yang satu ini khusus bagi mereka penganut paham sex before merried.

Jika pada akhirnya, segala usaha sudah dijalankan dan masih tetap dalam kondisi yang sama. Mungkin inilah yang disebut takdir yang harus diterima dengan lapang dada, tanpa perlu menghancurkan sisi kehidupan yang lain.

Masalah utama sekarang adalah bagaimana masyarakat menyikapi hal tersebut, yang biasanya hanya bisa menilai dan menghakimi luarnya saja. Kita tidak bisa mengharap orang lain untuk hidup normal seperti kita. Derajat manakah yang disebut normal? Bukankah pemahaman nilai normal berbeda-beda pada tiap kebudayaan, orang atau waktu? Bahkan rasa sebagai laki-laki dan perempuan pun tidak terkotak-kotak, lebih merupakan garis kontinyu yang kurang jelas batas-batasnya sehingga ada perempuan yang kelaki-lakian dan laki-laki yang keperempuanan.

Siapkah kita hidup bersama dengan berusaha menghilangkan stereotip negatif dan sikap sinis yang ada?

Catatan:
- I wrote for my friends at the crossroad

Tuesday, July 06, 2004

Pernikahan : Keharusan atau Sebuah Pilihan?

Pernikahan. Kata ini yang kerapkali saya temui belakangan ini lewat tulisan di blog, percakapan ringan dengan teman, sindiran rekan kerja yang telah menikah, pertanyaan sekedar lewat dari seorang kenalan hingga percakapan per telepon dengan keluarga di rumah. Terus terang, di usia yang sudah matang dan layak untuk itu, masih ada keraguan untuk menentukan sikap, apakah saya akan menikah sekarang, nanti atau tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum melangkah ke arah sana.

Berbicara tentang pernikahan dan keluarga (di Korea), saya jadi teringat kelas dari salah seorang Professor yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Kuliah tentang Forest Ecology Management and Policy, tapi ternyata melebar ke perubahan makna keluarga di Korea saat ini. Beliau mengatakan bahwa di awal pelaksanaan Program Keluarga Berencana, pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut program tersebut, dan hasilnya boleh dikata Korea merupakan salah satu negara yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduknya. Keluarga besar tergantikan dengan keluarga inti, mungkin serupa dengan program KB di Indonesia yang berslogan 'Dua Anak Cukup'.

Akibat kebijakan tersebut terjadi komposisi penduduk yang tidak seimbang antara generasi tua dan muda. Jumlah anggota keluarga yang beranggotakan empat orang (ayah, ibu dan dua orang anak) semakin menurun. Saat ini sebagian besar keluarga terdiri dari tiga orang anggota saja, suami, istri dan seorang anak, atau bahkan tanpa anak sama sekali. Bayangkan saja, menurut Organization for Economic Cooperation and Development, Korea menempati peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah anak terkecil dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, kini pemerintah mendorong setiap keluarga untuk mempunyai anak. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak.

Namun tampaknya, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi karena adanya kecenderungan di kalangan generasi muda untuk hidup melajang. Menurut data sensus yang dikeluarkan National Statistical Office Korsel (NSO) proporsi pria lajang berusia 25 - 29 tahun meningkat hampir 2 kali lipat dari 43.3% pada tahun 1970 menjadi 71% di tahun 2000. Sedangkan proporsi pria lajang berusia 30 - 34 tahun sebesar 28.1% di tahun 2000, atau meningkat dari hanya 6.4% di tahun 1970.

Bagaimana dengan proporsi wanita yang belum menikah? Sekitar 40.1% wanita berusia 25 - 29, usia yang lazim bagi wanita Korea untuk menikah, memilih untuk hidup sendiri. Persentase ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1990 (22.1%) atau hampir 5 kali lipat dibanding tahun 1970 (1.4%).

Data di atas menunjukkan bahwa dalam tiga dasawarsa yang sama persentase wanita lajang usia yang lazim untuk menikah meningkat lima kali lipat dibanding pria yang hanya meningkat dua kali lipat. Alasan kenapa pria cenderung untuk tetap melajang menurut survey adalah menurunnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan sedangkan bagi wanita memprioritaskan pendidikan dan karir.

Ada lagi alasan yang menyebabkan wanita yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih karir daripada menikah. Dalam sistem patriarki yang kental yang dianut masyarakat Korea, pria atau suami memiliki dominasi penuh terhadap wanita atau istri. Sekali wanita melangkahkan kakinya menuju gerbang pernikahan maka ia harus dengan rela melepaskan semua keinginannya dan siap untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan keluarga sepenuhnya, baik keluarganya sendiri maupun keluarga dari pihak suami (mertua). Sebuah pengorbanan yang sangat besar terutama bagi wanita yang mempunyai karir yang sedang menanjak.

Agaknya trend baru ini sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat Korea. Hal ini bisa dilihat dari begitu digemarinya beberapa serial TV dan film yang mengangkat tema hidup melajang. Film dan sinetron tersebut beberapa tahun terakhir sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat tentang pernikahan ke arah yang lebih moderat. Wanita Korea tidak lagi merasa terpaksa menghadiri blind date yang diatur untuknya kemudian menikah untuk menyenangkan keluarganya dan memenuhi tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jika saat ini, anda bertanya pada wanita usia 20-an dan awal 30-an tentang pernikahan, mungkin mereka akan mengatakan pernikahan bukanlah lagi sebuah keharusan untuk dijalani tetapi lebih sebagai sebuah pilihan. Saya jadi teringat apa yang pernah ditulis oleh Ayu Utami; Jika hidup melajang lebih nyaman, kenapa harus menikah?

Thursday, July 01, 2004

Perempuan Pemimpin

Sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat dan intelektual menolak fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita. Rektor Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azumardi Azra menilai fatwa ulama NU itu menyesatkan. Menurut dia, seharusnya symbol-simbol agama tidak dibawa ke dunia politik karena dikhawatirkan dapat melecehkan agama dan menimbulkan konflik. Fatwa ini juga dinilai sebagai bentuk persaingan antara dua calon wakil presiden dari NU. (Liputan6.com, 6 Juni 2004)

Terlepas dari kontroversinya, berita mengenai fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita membangkitkan rasa ingin tahu saya lebih jauh akan kepatutan seorang perempuan menjadi pemimpin.

Perempuan memiliki peranan dalam sejarah negeri ini yang amat menarik untuk ditelusuri. Satu tempat yang menarik perhatian adalah Aceh Darussalam yang banyak melahirkan perempuan pemimpin pada jamannya. Jauh sebelum Kartini memperjuangkan realitas kaumnya, para perempuan Aceh telah memiliki dan mendapat ruang yang luas untuk mengembangkan diri di berbagai bidang, semisal politik, sosial serta agama.

Tengoklah Ratu Nihrasiyah yang memegang pemerintahan di Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1400 sampai 1428. Atau juga seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati, Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Ia memimpin armada yang sebagian prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong bale) pahlawan yang tewas, untuk melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda. Sampai-sampai penulis Belanda Marie van Zuchtelen dalam bukunya Vrouwelijke Admiral Malahayati menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2.000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani.

Masih ada lagi cerita pembebasan Iskandar Muda oleh dua orang pimpinan perempuan, yaitu Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen bersama Resimen Pengawal Istananya (Suke Kaway Istana) yang terdiri dari Si Pai Inong (prajurit-prajurit perempuan). Bahkan, Aceh pernah dipimpin oleh empat ratu (sultanah) berturut-turut selama 60 tahun (1641 - 1699), yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Sri Ratu Kumala Syah.

Sampai pada kisah Ratu Kumala Syah, diceritakan bahwa Syarif Hasyim, salah seorang dari kaum Wujudiah yang menentang adanya sultan perempuan, menikahi sang ratu untuk mempercepat kejatuhannya. Sementara itu, kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah hingga datangnya surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidaksetujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Dan akhirnya, Ratu Kumala dimaksulkan dari tahta dan diganti suaminya, Syarif Hasyim. Dari kisah ini, tiba-tiba saya membayangkan Ratu Kumala sebagai Megawati Soekarno Putri sedang Syarif Hasyim dan kaum Wujudiah sebagai...... Ah, itu hanya pikiran nakal saya saja.

Seketat itukah Islam meniadakan kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin, presiden atau ratu? Rasanya fatwa yang dikeluarkan oleh NU di negara Indonesia yang masih menganut paham sekuler menjadi sesutu yang aneh, jika dibandingkan dengan Aceh Darussalam yang jelas-jelas mengambil Islam sebagai dasar pemerintahan tetapi masih memberi ruang yang luas bagi perempuan untuk mengambil peran, tidak terkecuali sebagai pemimpin atau sultanah.

Bagi saya, siapa pun pemimpin itu, perempuan atau laki-laki tanpa terkecuali, selama ia bisa membawa kemaslahatan untuk orang banyak kenapa tidak dipilih? Seperti pernyataan seorang ulama klasik Ibn al-Qayyim al-Jawzi: Politik, (yang direstui Islam), adalah yang benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkan kerusakan dari mereka, sekalipun ia tidak dilakukan oleh Nabi SAW dan tidak diturunkan dalam teks-teks wahyu.

Hanya saja, saat ini amatlah sulit untuk menemukan seorang perempuan pemimpin dibanding pemimpin perempuan yang bisa dikendalikan oleh siapa saja.

------------
Catatan: Saya bukan pendukung Mega!!!

Monday, May 31, 2004

Membuat Cinderella dalam Seratus Hari (Making a Cinderella in 100 Days)

Judul yang atraktif dan membuat penasaran bukan? Ini adalah judul artikel yang muncul saat saya menggunakan mesin pencari di sebuah situs berita terkenal di Korea. Sebuah ulasan mengenai program berseri yang ditayangkan sebuah stasiun televisi Korea, Dongah TV, yang khusus menayangkan program fashion dan kecantikan.

Making a Cinderella in 100 Days merupakan adaptasi dari sebuah program yang sama di sebuah satu televisi di Amerika, ABC's Extreme Makeover. Program ini telah memasuki musim penayangan yang ketiga sejak diluncurkan akhir tahun lalu. Sebenarnya program ini tidak akan istimewa jika saja pihak penyelenggara tidak memberikan jaminan 100 hari. Bayangkan, hanya dalam 100 hari peserta yang terpilih akan mengalami transformasi dari, maaf, jelek menjadi cantik. Dan semuanya gratis karena semua biaya perawatan yang mencapai 50 juta won atau sekitar 42.000 dolar per orang dibebankan pada pihak sponsor (rumah sakit dan klinik kecantikan).

Jika kita melihat ke belakang, sebenarnya operasi plastik sudah tidak aneh lagi. Ambillah contoh para selebritis dunia atau peserta Miss Tiffany di Thailand. Atau mungkin contoh yang menarik di Korea adalah Harisu, salah seorang selebritis Korea saat ini. Coba anda lihat foto di samping, mungkin pendapat anda sama dengan saya ketika pertama kali melihat gambar tersebut, Wow, she's pretty. Anda tidak akan mengira bahwa dia adalah transgender terkenal Korea. Bukan masalah transgendernya tapi lihatlah betapa operasi plastik benar-benar dapat mengubah penampilan luar seseorang dan menciptakan, kalau boleh meminjam istilah program TV tersebut, seorang "Cinderella".

Barapa banyak peminat operasi plastik di Korea Selatan? Dua buah survey terpisah yang dilakukan terhadap dua kelompok sosial yang berbeda menunjukkan operasi plastik telah mempengaruhi opini masyarakat Korea saat ini. Sebuah penelitian mahasiswa pasca sarjana yang dilakukan setahun yang lalu dengan mensurvey 680 siswa (293 laki-laki dan 387 perempuan) dari enam sekolah lanjutan di Seoul memberikan hasil yang cukup mengejutkan. Sekitar empat orang dari sepuluh responden (40 %) menginginkan operasi plastik, dan satu diantara sepuluh responden (8 %) mengatakan telah melakukan operasi plastik. "Fenomena tersebut menunjukkan norma sosial yang kurang sehat seperti materialisme telah banyak mempengaruhi persepsi masyarakat, orang tua dan lingkungannya bukannya meningkatkan kemampuan si anak tapi justru mendorong untuk melakukan operasi plastik", ungkap peneliti tersebut prihatin (The Korea Times, August 26, 2003).

Lebih lanjut, survey yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Seoul National University terhadap 1.500 mahasiswi dari seluruh Korea menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (60 %) telah menjalani operasi plastik. Dari mereka yang pernah melakukan bedah plastik, lebih dari 95 persen masih berkeinginan untuk memperbaiki bagian lain dari tubuhnya. Bagaimana dengan mereka yang belum? Sekitar 82 persen menyatakan keinginannya untuk menjalani operasi plastik kelak (The Korean Herald, May 10, 2004).

Kembali ke program televisi tadi, tahukah berapa orang pelamar yang berminat untuk mengikuti program tersebut? Di awal peluncuran program ini, tidak kurang dari 1.240 pelamar, yang kemudian meningkat menjadi 4.000 pelamar di musim penayangan yang kedua, dan sekitar 2.500 pelamar telah mendaftarkan diri tiga pekan sebelum musim penayangan ketiga yang dimulai tanggal 26 Mei kemarin. Tampaknya minat untuk mengikuti program ini terus meningkat meski hanya 3 atau 4 orang saja yang terpilih dari ribuan pelamar. Siapa yang tidak tergiur untuk cantik atau tampan, tanpa harus membayar satu sen pun?

Banyak yang menginginkan program ini dihentikan dengan anggapan bahwa program ini mencoba mengubah persepsi masyarakat untuk menilai seseorang dari luarnya saja dan media tidak selayaknya menunjukkan standar baku dari sebuah kecantikan. Meski demikian, masih ada yang mencoba untuk bersikap realistis dengan tidak menyalahkan program TV, seperti kata salah seorang pegawai kantor yang diwawancarai soal ini. Ia mengatakan, "Jangan salahkan program TV-nya karena program tersebut merupakan gambaran kondisi masyarakat sekarang. Seharusnya tendensi masyarakat yang menilai seseorang dari luarnya yang harus menjadi perhatian untuk disikapi".

Kelihatannya, 'angin' ini mulai berhembus ke Indonesia, sebuah program sedang disiapkan salah satu stasiun televisi di Indonesia memiliki visi yang masih menitikberatkan sisi kecantikan walaupun ada input Brain (kecerdasan) dan Behavior (etiket dan sopan-santun) di dalamnya, meski tanpa iming-iming operasi plastik. Saya jadi berpikir, jika penampilan benar-benar sudah menjadi salah satu kebutuhan saat ini dan melihat peminat Indonesia Idol yang diadopsi dari program sejenis di Amerika bisa mencapai 33.500 orang, saya bisa membayangkan berapa puluh ribu orang yang akan mendaftar jika program serupa diadopsi oleh salah satu stasiun televisi di Indonesia. Semoga kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan.

Saturday, May 29, 2004

Masihkah Cinta Diungkapkan dengan Diam......

If I try and stop you, you will be hurt...
And so I let you go...
Hoping in vain you will someday return...
(Chong Ch'ol; Ode on Leaving the Western Capital)

Membaca kumpulan essay Lee O-young, mantan menteri kebudayaan Korea, seperti melakukan perjalanan virtual ke masa silam. Masa sebelum perang Korea atau bahkan jauh sebelumnya, ketika kebiasaan dan tradisi masih sangat dipegang teguh oleh masyarakat Korea.

Ada sebuah essay menarik gubahan Lee O-young yang saat ini sedang saya baca berjudul On Love (Mencintai). Tema yang diungkapnya sangat menarik karena sifat cinta yang universal dan karena setiap bangsa memiliki definisi tersendiri tentang cinta.

Cinta dalam bahasa Korea kuno berarti berpikir, berpikir adalah cinta dan cinta adalah berpikir. Sehingga emosi atau rasa akibat pengaruh cinta bagi orang Korea mengandung makna yang lebih dalam dibanding cinta orang di Barat yang menggebu-gebu. Sebagai contoh, ketika orang di Barat jatuh cinta, tanpa sungkan mereka akan berkata I love you atau Je t'aime. Tapi bagi orang Korea, mereka tidak akan spontan mengucapkan kata 'cinta'.

Implisitnya cinta orang Korea tergambar dari sebuah bait dari puisi yang terkenal dari masa dinasti Yi (1537 - 1594) Thinking of a Beautiful Person yang berbunyi There seems to be a subtle change in your manner as you greeted me. Bait ini seakan menunjukkan bahwa cinta dan benci adalah emosi yang terpancar dari ekspresi wajah, tidak terungkapkan dengan kata-kata. Dan banyak lagi puisi yang menceritakan ungkapan cinta dalam 'diam', khususnya cinta seorang wanita Korea yang terikat tradisi. Semua emosi yang ada terpendam dan tersimpan rapi dalam hati dan tak mudah untuk dilupakan.

Tidak hanya ketika mencinta dan dicinta, pun ketika salah seorang dikhianati, bukanlah belati yang akan tertancap di tubuh sang kekasih seperti kisah Carmen. Tetapi sikap pengampunan (maaf) dan kesabaran yang mereka tunjukan. Satu ungkapan yang terkenal adalah When you leave me, I will not weep though I die (Ketika kau meninggalkan ku, aku takkkan menangisimu meski aku mati) (Kim So-wol, 1903 - 1934). Sebuah pernyataan pengunduran diri, kontrol diri dan penahanan nafsu dari hati yang kehilangan cinta.

Ada satu pertanyaan yang mengusik saat ini. Jika masyarakat Korea tradisional begitu mengagungkan cinta, bagaimana dengan masyarakat Korea pasca perang Korea, terutama generasi mudanya yang telah banyak terpengaruh budaya Barat, Amerika misalnya?

Selama saya tinggal di Korea, ada satu hal menarik yang saya kira hanya ditemui di Korea yaitu adanya beberapa 'hari cinta'. Berbagai negara merayakan tanggal 14 Februari sebagai Valentine Day, hari kasih sayang, hari dimana setiap pasangan saling mengungkapkan rasa kasihnya. Mungkin hanya di Korea dapat ditemui hari-hari cinta selain 14 Februari.

Entah sejak kapan, hari-hari ini dirayakan dengan antusias oleh generasi muda Korea. Setidaknya ada lima hari kasih sayang, termasuk Valentine Day. Sebutlah saja 14 February, hari kasih sayang sedunia (Valentine Day) yang dirayakan oleh para wanita dengan memberikan coklat ke teman prianya. Kemudian, 14 Maret (White Day) yang dirayakan para pria dengan memberikan sesuatu (bunga, kado atau boneka) ke teman wanitanya sebagai balasan di Valentine Day. Ada lagi Black Day (14 April) yang dikhususkan bagi yang belum punya pacar (mungkin kalau di Indonesia, Jomblo Day istilah kerennya) dengan makan ccajangmyon, sejenis mie dengan saus kedelai hitam yang rasanya manis.

Hari yang baru saja dirayakan adalah Rose Day (14 Mei), dari namanya sudah sangat jelas, Say it with flowers. Kemudian, yang siap-siap untuk disambut adalah Silver Ring Day (14 Juni). Hari dimana setiap pasangan untuk mengucapkan janji? Mungkin...

Banyak yang berubah jika essay-essay yang ditulis Lee O-young dibandingkan dengan keadaan sekarang. Kini untuk mencintai, kelihatannya tidak lagi cukup ditunjukkan dengan perubahan ekspresi wajah ataupun dalam diam, tapi juga dengan bunga, kado atau ungkapan kata Nan norel sarangheyo atau singkatnya Saranghe... (Aku cinta padamu).

Ketika Cantik Menjadi Segalanya......di Korea

Koreans look at beauty different from Westerners who think of beauty only as beauty. To as, morality and realistic consciousness are contained in beauty. The characteristic of nature of Korean beauty is the combination of Morality and Beauty.

Itulah penuturan Lee O-young, mantan Menteri Kebudayaan Korea, dalam sebuah essaynya (Ch'unhyang and Helen, 1963) ketika mengkomparasikan kecantikan Ch'unhyang dan Helen. Dua wanita dari dua kutub dunia yang berbeda, Timur dan Barat.

Ingat atau sudah nonton film layar lebar anyar berjudul Troy? Film tentang kisah klasik Yunani, Perang Troya, akan mengingatkan kembali pada kecantikan Helen. Perebutan si cantik jelita Helen menyebabkan pertumpahan darah selama 10 tahun. Helen sendiri hidup bermegah-megahan dengan orang yang merebutnya, sementara suaminya mengorbankan ratusan nyawa untuk mendapatkannya kembali. Bagi orang Korea, kecantikan Helen adalah kecantikan yang tidak dilandasi dengan moralitas.

Dalam kisah klasik Korea, adalah Ch'unhyang yang cantik yang lebih memilih dipermalukan bahkan dieksekusi daripada jatuh kepelukan Gubernur Pyon Hak-to. Loyalitas Ch'unhyang pada suaminya dan kerelaannya mati untuk mencegah berlanjutnya pertumpahan darah antara suaminya dan sang gubernur menunjukkan kecantikan Ch'unhyang yang disertai moralitas yang tinggi.

Sungguh dua kisah yang kontradiktif. Ch'unhyang ibarat bunga Chrysanthemum yang mekar di tengah badai salju dan muncul sebagai kecantikan paling ideal. Sedang Helen ibarat mawar yang menawarkan kecantikan sekaligus bisa menimbulkan luka. Kecantikan tanpa kepribadian.

Kini menginjak tahun 2004, empat puluh tahun setelah Lee O-young menulis essaynya. Defenisi kecantikan di mata orang Korea ternyata telah mengalami pergeseran. Kecantikan ideal tidak lagi berada pada titik keseimbangan moralitas (inner beauty) dan kenyataan (physical beauty). Saat ini, penilaian berlebihan pada kecantikan fisik telah sampai pada titik kritis.

Kecantikan hanya diartikan memiliki rupa yang cantik (eoljjang) atau bentuk badan yang ideal (momjjang). Syndrome ini telah mendorong banyak wanita untuk merubah penampilannya dengan cara apapun, termasuk dengan cosmetic surgery. Dorongan untuk melakukan operasi plastik tersebut lebih diperparah dengan fakta bahwa hampir 79% wanita Korea (responden) tidak puas dengan penampilan mereka, bahkan 32%-nya lagi mengalami diskriminasi sosial menyangkut penampilan mereka ketika mencari kerja atau bahkan ketika kencan dengan pasangannya (The Korean Herald, March 9, 2004).

Obsesi untuk menjadi cantik sepertinya telah menjadi sebuah bencana. Trend ini lebih mendekati sebuah gejala penyakit mental masyarakat. Pernah membayangkan konsekuensi dari semua itu? Konsekuensi yang timbul dari beratnya beban untuk menjadi cantik? Sebuah kisah nyata terjadi baru-baru ini. Seorang gadis berusia 25 tahun di salah satu kota di selatan Korea lebih memilih terjun bebas dari apartemennya hanya karena harapannya untuk cantik dengan operasi plastik tidak terpenuhi. Menurut hasil survey, rata-rata sekitar 1.5 juta won per bulan dikeluarkan oleh satu orang wanita Korea untuk sekedar tampil cantik atau menarik. Nilai yang setara dengan separuh dari penghasilan pekerja yang cukup mapan di Korea.

Sebesar itukah harga sebuah kecantikan?

Mungkin pendapat seorang psikolog bisa menjadi bahan sebuah perenungan.
Though you don't have a pretty face, you may have a lot of other abilities. You must find them out and develop them. You must know facial beauty is not the most important thing in your life.

Seoul, April 7, 2004 (usai Pemilu)

(Special thanks to mba' Loeloe......atas editannya.)