Have an account?

Wednesday, July 14, 2004

Sebuah Pilihan

Aku bingung, Ndy. Kamu tahukan aku seperti apa. Sekarang aku berada di persimpangan jalan, antara berusaha kembali untuk jadi laki-laki normal atau menyatakan diri sebagai gay.

Kenapa tidak coba memilih satu diantaranya? Coba lihat kearah mana kecenderungan yang kamu punya.

Tarikan keduanya sama kuat, Ndy. Aku suka dua-duanya dan jalan dengan keduanya. Bingung...


Percakapan virtual saya dengan seorang teman di atas mengingatkan saya akan sebuah pertanyaan yang saya lontarkan kepada seorang teman yang lain di Italia beberapa waktu yang lalu. Menjadi gay atau tidak adalah sebuah pilihan bukan?

Menurut takdirnya, seorang laki-laki akan berusaha menarik perhatian dan hidup bersama dengan lawan jenisnya. Begitupun sebaliknya, perempuan diciptakan untuk menjadi pendamping hidup bagi laki-laki. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa hidup tidak mesti berjalan lurus seperti itu. Laki-laki maupun perempuan, memiliki potensi untuk menyimpang dari kodratnya, dari heteroseksual menjadi homoseksual (gay atau lesbian), ketika orientasi seks terhadap lawan jenisnya berkadar kecil atau sedikit.

Homoseksual bukanlah kisah baru yang dibawa peradaban barat nan modern. Ia telah ada sejak jaman para nabi. Di kalangan ahli kejiwaan, homoseksual bukanlah penyakit, ia hanyalah masalah orientasi seksual dan sedikit pada cara berpenampilan dan berperilaku. Orientasi seksual seseorang bergradasi dan dapat diukur berdasarkan kisaran antara 0 sampai 6 skala Kinsey. Nilai 0 menunjukkan heteroseksual eksklusif dan nilai 6 menunjukkan homoseksual eksklusif. Jika heteroseksual ekslusif merupakan nilai tertinggi bagi mereka yang hanya menyukai lawan jenisnya, maka sebaliknya homoseksual ekslusif bagi mereka yang hanya menyukai sesama jenis.

Banyak faktor yang memicu homoseksualitas seseorang. Menurut teori medis, ada empat kemungkinan penyebab homoseksual. Ada faktor yang sifatnya individual dan ada faktor yang sifatnya social. Pertama faktor biologis, yakni adanya kelainan di otak atau genetik, ketidakseimbangan jumlah hormon pada diri seseorang sejak lahir. Kedua, faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak. Ketiga, faktor sosiokultural, yakni adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseks dengan alasan yang tidak benar. Keempat, faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat. Faktor lingkungan dan bawaan atau gen menjadi penyebab utama seseorang menjadi gay.

Di Indonesia sendiri, data statistik menunjukkan 8 - 10 juta populasi laki-laki Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian besar masih terus melakukannya. Berbeda dengan kalangan homoseksual di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia, hidup sebagai gay di Indonesia tidaklah mudah. Seperti yang diungkap salah seorang dalam suratnya di kolom konsultasi Kompas, Menjadi homoseks di Indonesia ini sangat menyiksa. Aku bagai hidup dalam penjajahan moral, tradisi dan entah apalagi.

Kesulitan inilah yang menyebabkan kalangan homoseksual di Indonesia masih malu untuk tampil terbuka dan memproklamirkan diri sebagai homoseks. Hanya beberapa orang yang terang-terangan mengakui statusnya tersebut, dan tentu saja bukan tanpa konsekuensi.

Upaya untuk sembuh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penderitaan kami tidak kalah dengan orang yang berpenyakit jantung, kanker dan sebagainya. Mungkin lebih berat, sebab kami harus berjuang sendiri bahkan mendapat cemohan dari masyarakat, keluh seorang gay. Kesembuhan seseorang tergantung dari usaha yang keras, tahan godaan dan komitmen yang kuat untuk menjauhi kehidupan tersebut. Seperti yang pernah ditulis Sava, inti kesembuhan dari para gay dan lesbian ini selain berasal dari dorongan nurani masing-masing untuk sadar dan kembali ke 'jalan yang benar' ataupun agama, ternyata diperlukan dukungan dari banyak pihak. Utamanya jelas berasal dari pasangan lain jenis. Salah satu contohnya mungkin jika pasangan lain jenis dapat memberikan kebahagian, perlakukan dan pelayanan yang lebih baik atau setidaknya sama dengan yang dia dapatkan dari pasangan sesama jenis, maka mereka akan sembuh. Lebih vulgar lagi, pasangan lawan jenis tahu dan mampu memperlakukan pasangan ketika berhubungan sexsual, sehingga dapat memberikan kepuasan lebih. Tapi untuk yang satu ini khusus bagi mereka penganut paham sex before merried.

Jika pada akhirnya, segala usaha sudah dijalankan dan masih tetap dalam kondisi yang sama. Mungkin inilah yang disebut takdir yang harus diterima dengan lapang dada, tanpa perlu menghancurkan sisi kehidupan yang lain.

Masalah utama sekarang adalah bagaimana masyarakat menyikapi hal tersebut, yang biasanya hanya bisa menilai dan menghakimi luarnya saja. Kita tidak bisa mengharap orang lain untuk hidup normal seperti kita. Derajat manakah yang disebut normal? Bukankah pemahaman nilai normal berbeda-beda pada tiap kebudayaan, orang atau waktu? Bahkan rasa sebagai laki-laki dan perempuan pun tidak terkotak-kotak, lebih merupakan garis kontinyu yang kurang jelas batas-batasnya sehingga ada perempuan yang kelaki-lakian dan laki-laki yang keperempuanan.

Siapkah kita hidup bersama dengan berusaha menghilangkan stereotip negatif dan sikap sinis yang ada?

Catatan:
- I wrote for my friends at the crossroad

Tuesday, July 06, 2004

Pernikahan : Keharusan atau Sebuah Pilihan?

Pernikahan. Kata ini yang kerapkali saya temui belakangan ini lewat tulisan di blog, percakapan ringan dengan teman, sindiran rekan kerja yang telah menikah, pertanyaan sekedar lewat dari seorang kenalan hingga percakapan per telepon dengan keluarga di rumah. Terus terang, di usia yang sudah matang dan layak untuk itu, masih ada keraguan untuk menentukan sikap, apakah saya akan menikah sekarang, nanti atau tidak sama sekali. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan sebelum melangkah ke arah sana.

Berbicara tentang pernikahan dan keluarga (di Korea), saya jadi teringat kelas dari salah seorang Professor yang saya ikuti beberapa hari yang lalu. Kuliah tentang Forest Ecology Management and Policy, tapi ternyata melebar ke perubahan makna keluarga di Korea saat ini. Beliau mengatakan bahwa di awal pelaksanaan Program Keluarga Berencana, pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut program tersebut, dan hasilnya boleh dikata Korea merupakan salah satu negara yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduknya. Keluarga besar tergantikan dengan keluarga inti, mungkin serupa dengan program KB di Indonesia yang berslogan 'Dua Anak Cukup'.

Akibat kebijakan tersebut terjadi komposisi penduduk yang tidak seimbang antara generasi tua dan muda. Jumlah anggota keluarga yang beranggotakan empat orang (ayah, ibu dan dua orang anak) semakin menurun. Saat ini sebagian besar keluarga terdiri dari tiga orang anggota saja, suami, istri dan seorang anak, atau bahkan tanpa anak sama sekali. Bayangkan saja, menurut Organization for Economic Cooperation and Development, Korea menempati peringkat pertama di dunia dalam hal jumlah anak terkecil dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, kini pemerintah mendorong setiap keluarga untuk mempunyai anak. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak.

Namun tampaknya, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi karena adanya kecenderungan di kalangan generasi muda untuk hidup melajang. Menurut data sensus yang dikeluarkan National Statistical Office Korsel (NSO) proporsi pria lajang berusia 25 - 29 tahun meningkat hampir 2 kali lipat dari 43.3% pada tahun 1970 menjadi 71% di tahun 2000. Sedangkan proporsi pria lajang berusia 30 - 34 tahun sebesar 28.1% di tahun 2000, atau meningkat dari hanya 6.4% di tahun 1970.

Bagaimana dengan proporsi wanita yang belum menikah? Sekitar 40.1% wanita berusia 25 - 29, usia yang lazim bagi wanita Korea untuk menikah, memilih untuk hidup sendiri. Persentase ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1990 (22.1%) atau hampir 5 kali lipat dibanding tahun 1970 (1.4%).

Data di atas menunjukkan bahwa dalam tiga dasawarsa yang sama persentase wanita lajang usia yang lazim untuk menikah meningkat lima kali lipat dibanding pria yang hanya meningkat dua kali lipat. Alasan kenapa pria cenderung untuk tetap melajang menurut survey adalah menurunnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan sedangkan bagi wanita memprioritaskan pendidikan dan karir.

Ada lagi alasan yang menyebabkan wanita yang berpendidikan tinggi cenderung untuk memilih karir daripada menikah. Dalam sistem patriarki yang kental yang dianut masyarakat Korea, pria atau suami memiliki dominasi penuh terhadap wanita atau istri. Sekali wanita melangkahkan kakinya menuju gerbang pernikahan maka ia harus dengan rela melepaskan semua keinginannya dan siap untuk menjalankan tugasnya melayani suami dan keluarga sepenuhnya, baik keluarganya sendiri maupun keluarga dari pihak suami (mertua). Sebuah pengorbanan yang sangat besar terutama bagi wanita yang mempunyai karir yang sedang menanjak.

Agaknya trend baru ini sedikit demi sedikit mulai diterima oleh masyarakat Korea. Hal ini bisa dilihat dari begitu digemarinya beberapa serial TV dan film yang mengangkat tema hidup melajang. Film dan sinetron tersebut beberapa tahun terakhir sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat tentang pernikahan ke arah yang lebih moderat. Wanita Korea tidak lagi merasa terpaksa menghadiri blind date yang diatur untuknya kemudian menikah untuk menyenangkan keluarganya dan memenuhi tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jika saat ini, anda bertanya pada wanita usia 20-an dan awal 30-an tentang pernikahan, mungkin mereka akan mengatakan pernikahan bukanlah lagi sebuah keharusan untuk dijalani tetapi lebih sebagai sebuah pilihan. Saya jadi teringat apa yang pernah ditulis oleh Ayu Utami; Jika hidup melajang lebih nyaman, kenapa harus menikah?

Thursday, July 01, 2004

Perempuan Pemimpin

Sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat dan intelektual menolak fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita. Rektor Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azumardi Azra menilai fatwa ulama NU itu menyesatkan. Menurut dia, seharusnya symbol-simbol agama tidak dibawa ke dunia politik karena dikhawatirkan dapat melecehkan agama dan menimbulkan konflik. Fatwa ini juga dinilai sebagai bentuk persaingan antara dua calon wakil presiden dari NU. (Liputan6.com, 6 Juni 2004)

Terlepas dari kontroversinya, berita mengenai fatwa sebagian ulama Nahdlatul Ulama yang mengharamkan umat Islam memilih presiden wanita membangkitkan rasa ingin tahu saya lebih jauh akan kepatutan seorang perempuan menjadi pemimpin.

Perempuan memiliki peranan dalam sejarah negeri ini yang amat menarik untuk ditelusuri. Satu tempat yang menarik perhatian adalah Aceh Darussalam yang banyak melahirkan perempuan pemimpin pada jamannya. Jauh sebelum Kartini memperjuangkan realitas kaumnya, para perempuan Aceh telah memiliki dan mendapat ruang yang luas untuk mengembangkan diri di berbagai bidang, semisal politik, sosial serta agama.

Tengoklah Ratu Nihrasiyah yang memegang pemerintahan di Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1400 sampai 1428. Atau juga seorang perempuan bernama Laksamana Malahayati, Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Ia memimpin armada yang sebagian prajuritnya terdiri dari janda-janda (inong bale) pahlawan yang tewas, untuk melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda. Sampai-sampai penulis Belanda Marie van Zuchtelen dalam bukunya Vrouwelijke Admiral Malahayati menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2.000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani.

Masih ada lagi cerita pembebasan Iskandar Muda oleh dua orang pimpinan perempuan, yaitu Laksamana Leurah Ganti dan Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen bersama Resimen Pengawal Istananya (Suke Kaway Istana) yang terdiri dari Si Pai Inong (prajurit-prajurit perempuan). Bahkan, Aceh pernah dipimpin oleh empat ratu (sultanah) berturut-turut selama 60 tahun (1641 - 1699), yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Sri Ratu Kumala Syah.

Sampai pada kisah Ratu Kumala Syah, diceritakan bahwa Syarif Hasyim, salah seorang dari kaum Wujudiah yang menentang adanya sultan perempuan, menikahi sang ratu untuk mempercepat kejatuhannya. Sementara itu, kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah hingga datangnya surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidaksetujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Dan akhirnya, Ratu Kumala dimaksulkan dari tahta dan diganti suaminya, Syarif Hasyim. Dari kisah ini, tiba-tiba saya membayangkan Ratu Kumala sebagai Megawati Soekarno Putri sedang Syarif Hasyim dan kaum Wujudiah sebagai...... Ah, itu hanya pikiran nakal saya saja.

Seketat itukah Islam meniadakan kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin, presiden atau ratu? Rasanya fatwa yang dikeluarkan oleh NU di negara Indonesia yang masih menganut paham sekuler menjadi sesutu yang aneh, jika dibandingkan dengan Aceh Darussalam yang jelas-jelas mengambil Islam sebagai dasar pemerintahan tetapi masih memberi ruang yang luas bagi perempuan untuk mengambil peran, tidak terkecuali sebagai pemimpin atau sultanah.

Bagi saya, siapa pun pemimpin itu, perempuan atau laki-laki tanpa terkecuali, selama ia bisa membawa kemaslahatan untuk orang banyak kenapa tidak dipilih? Seperti pernyataan seorang ulama klasik Ibn al-Qayyim al-Jawzi: Politik, (yang direstui Islam), adalah yang benar-benar mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkan kerusakan dari mereka, sekalipun ia tidak dilakukan oleh Nabi SAW dan tidak diturunkan dalam teks-teks wahyu.

Hanya saja, saat ini amatlah sulit untuk menemukan seorang perempuan pemimpin dibanding pemimpin perempuan yang bisa dikendalikan oleh siapa saja.

------------
Catatan: Saya bukan pendukung Mega!!!